Sunday, April 26, 2009

NIKMAT MASA

Salah satu perangai buruk yang mesti dihindari seorang Muslim adalah menunda pekerjaan. Orang yang suka menunda-nunda pekerjaan, biasanya beranggapan masih ada hari esok untuk melakukan pekerjaan yang sepatutnya ia lakukan hari ini. Ia tidak menyedari bahawa tidak ada jaminan bagi seseorang untuk dapat bertemu dengan hari esok.
Rasulullah SAW bersabda,

''Gunakanlah lima perkara sebelum datang lima lainnya; masa mudamu sebelum masa tuamu, masa hidupmu sebelum datang kematianmu, masa lapangmu sebelum masa sibukmu, masa sihatmu sebelum masa sakitmu, dan masa kaya sebelum masa miskinmu.'' (HR Hakim).

Itulah nasihat Rasullullah SAW kepada kita agar tidak menunda-nunda pekerjaan. Karena menunda pekerjaan merupakan awal dari timbulnya permasalahan.
Dalam hadis lain, Rasulullah SAW berpesan,

''Bersegeralah kamu sekalian melakukan amal-amal yang shaleh, karena akan terjadi suatu bencana yang menyerupai malam yang gelap gulita, di mana ada seseorang pada pagi hari ia beriman tetapi pada petangnya ia kafir, pada petang hari ia beriman tetapi pada paginya ia kafir; ia rela menukar agamanya dengan satu kesenangan dunia.'' (HR Muslim).

Ada beberapa sebab mengapa menunda-nunda pekerjaan itu ditegah.
Pertama, kita tidak mengetahui adakah kita masih hidup pada esok hari.
Kedua, tiada jaminan esok kita masih diberi nikmat kesehatan, memiliki masa lapang seperti hari ini.
Ketiga, menunda-nunda pekerjaan baik, menyebabkan seseorang terbiasa melakukannya, itu kemudian akan menjadi suatu kebiasaan buruk yang susah dihilangkan.

Masa akan terus berlalu. Saat, menit, lalu jam, kemudian hari, begitu seterusnya. Siang dan malam pun datang silih berganti. Allah SWT berfirman,

''Dan Dialah yang menjadikan malam dan siang silih berganti bagi orang yang ingin mengambil pelajaran atau orang yang ingin bersyukur.'' (QS 25:62).

Bersyukur terhadap nikmat Allah SWT dalam hal ini, boleh diertikan dengan memanfaatkan masa yang ada dan kesempatan yang telah dianugerahkan. Maka, sungguh sungguh sangat merugi orang yang telah diberikan nikmat masa dan kesempatan lalu dia tidak segera memanfaatkannya, malah mensiakannya.

Wednesday, April 15, 2009

NIKMAT ITU MENGASYIKKAN.............

Utbah bin Khazwan radhiyallahu ‘anhu, seorang sahabat, pada zaman Khulafaur Rasyidin, ia menjadi gabernor Basrah. Suatu ketika di hadapan rakyatnya ia berkhutbah:

“Sesungguhnya dunia telah memberimu peringatan akan sifatnya yang tidak kekal (habis dan rusak), berlalu terus dengan cepat, tiada yang baqi dari padanya, kecuali seperti sisa air pada cerek yang dituangkan pemiliknya, dan kita akan kembali ke tempat yang tiada penghujungnya. Maka kembalilah kesana dengan sebaik-baik bekalan yang ada padamu.
Telah dikabarkan, bahawa jika sebuah batu dilemparkan ke dalam neraka Jahannam, maka sehingga tujuh puluh tahun, batu itu belum juga sampai ke dasarnya. Demi Allah neraka itu akan dipenuhi. Adakah kamu hairan?
Juga dikabarkan, bahawa jarak di antara dua ambang pintu surga seluas perjalanan empat puluh tahun. Tetapi pada suatu hari, akan terjadi kesesakan orang berjalan.
Dahulu, ketika kami tujuh orang bersama Rasulullah saw, tiada makanan kecuali daun-daun pepohonan sahaja yang ada, sehingga luka bibir-bibir kami kerana memakannya. Saya pernah memotong dua, selembar kain untuk kami guna sebagai kain sarung dengan Sa’ad bin Malik. Tetapi kini, tiada seorang dari kami melainkan sudah menjadi gabernor di suatu daerah. Dan saya berlindung kepada Allah, janganlah sampai saya memandang diri saya besar, padahal sebenarnya dalam pandangan Allah adalah kecil.”

Utbah tidak melupakan masa lalunya, ia terus mengenang berbagai kesusahan yang pernah dirasakan oleh para penggerak awal dakwah Islam di Makkah; pemboikotan Kuffar Quraisy, penyiksaan oleh mereka, kesempitan ekonomi yang menimpa, kehidupan yang serba dalam kekurangan. Dahulu tak terbayangkan bila agaknya penderitaan akan berakhir. Jauh sekali membayangkan berbagai kenikmatan dunia seperti yang dinikmati kini.

Utbah mengingati perjalanan masa lalu. Dalam kesusahan, para sahabat radhiyallahu ‘anhum terus berjuang, memperluas jangkauan dakwah, penduduk Madinah beramai-ramai memeluk Islam.

Hijrah kaum muslimin ke Madinah menjadikan kedudukan mereka menjadi kuat, sebagai umat yang berdaulat, dakwah pun semakin meluas, dan akhirnya kekuatan Islam kembali menguasai Makkah. Kaum muslimin gembira dapat kembali menakluki Makkah dengan laungan takbir.

Setelah Rasulullah saw tiada, gerakkan Islam bukan surut, malah semakin menyebar ke negeri-negeri jirannya, satu persatu mengisytiharkan memeluk Islam. Kaum muslimin menjadi suatu kumpulan yang lengkap dari berbagai suku bangsa, warna kulit, bahasa dan beragam budaya. Kerajaan Parsi juga tunduk. Ketika itulah Utbah mendapat amanah memimpin Basrah sebagai Gabernor.

Kenikmatan…., memang melenakan, bukan sedikit manusia yang terperangkap dengan ujian yang satu ini.

“Barangsiapa menghendaki balasan segera (duniawi), maka Kami akan segerakan apa yang Kami mahu bagi sesiapa yang kami kehendaki di dunia ini, kemudian Kami tentukan baginya neraka jahannam; ia akan memasukinya dalam keadaan tercela dan terusir.” (S. Al Isra’:18)

Kebahagiaan duniawi yang dirasa manusia dan membuatnya lalai, sebenarnya adalah awal azab Allah di akhirat.

Kenikmatan sering menjadikan manusia lupa akan sejarah hidupnya, lupa betapa dahulu ia miskin, bersusah payah untuk berdiri, kehidupan saling tolong menolong yang ia dapat telah menjadikannya mampu menghadapi penderitaan dan mudah mencapai tangga-tangga kejayaan. Pertolongan-pertolongan Allah melalui malaikat, melalui saudara-saudara kaum muslimin telah menguatkannya untuk terus melangkah menuju kejayaan, kejayaan itu kini, membuat manusia buta. Lupa bahawa ia dibesarkan bukan oleh dirinya sendiri.

Allah berfirman tentang Qarun yang berkata:

“Sesungguhnya aku diberi harta itu, hanyalah kerana ilmu yang ada padaku….” (S. Al Qashash:78)

Kenikmatan juga sering menjadikan manusia lupa misinya. Bertahun-tahun melalui hidup dalam kesusahan, sanggup bertahan dengan prinsip, berjuang memerah keringat, menitiskan darah, sekian lama dengan sabar melangkahi anak-anak tangga kejayaan sedikit demi sedikit, dengan harap-harap cemas dan beribu do’a. Namun, ketika ia telah sampai di puncak kenikmatan dan kedudukan yang tinggi, ia lupa untuk apa sebenarnya ia bersusah payah mendaki selama ini.

Kenikmatan membuat seseorang menjadi besar kepala. Menganggap dirinya hebat, kuat, banyak jasa. Melihat manusia-manusia lain kecil dalam pandangannya, tiada nilai dalam perhitungannya, lalu tak perlu dihargai pendapat-pendapatnya.

Semua ini adalah bencana, awal azab Allah dalam bentuk kenikmatan dunia. Utbah menyedari akan ancaman ini, ia berkata: “Saya berlindung kepada Allah, jangan sampai saya melihat diri saya besar padahal dalam pandangan Allah kecil.”

Rasulullah saw, sebagai peribadi contoh, telah mengalami mi’raj, suatu kenikmatan tiada banding, Baginda berjumpa para nabi; Adam, Nuh, Ibrahim, Musa dan Isa alaihimus salaam. Sepanjang perjalanan Baginda ditemani oleh Jibril, Baginda menyaksikan surga dan akhirnya menghadap Allah untuk menerima shalat.

Seorang Sufi berkata: “Kalau aku mi’raj, tentu aku tak akan kembali ke dunia ini lagi….” Tetapi Baginda saw kembali, untuk menyibukkan diri lagi dengan permasalahan umat, yang menghimpit dadanya dan mengancam keselamatan nyawanya, kerana, itulah misi sebenarnya, yang memang mesti ia jayakan.

Semoga bermanfaat!

Ilal liqa'

Monday, April 13, 2009

BERKENALAN DENGAN ESQ

Pada abad 20-an kecerdasan intelektual IQ (Intelellectual Quotient) dianggap oleh kebanyakan orang sebagai kecerdasan tertinggi manusia dan penentu bagi kejayaan masa hadapannya, IQ dijadikan pengukur kecerdasan, semakin tinggi IQ seseorang, maka semakin tinggilah kecerdasannya dan semakin besar pula kemungkinannya untuk berjaya dalam hidup. Maka dibuatlah formula Uji IQ untuk memilih manusia berdasarkan tingkat kecerdasannya.

Mengikut perkembangan, ternyata IQ hanyalah kecerdasan untuk menyelesaikan masalah-masalah logika, rational dan strategis, bila hanya bergantung kepada IQ, maka seseorang itu bagaikan robot atau enjin. Bekerja secara teratur, otomatik dan mekanik seperti komputer, tetapi gagal menjalin hubungan harmonis di antara sesamanya. Akhirnya manusia mengalami perasaan terasing dari lingkungannya dan dunianya sendiri.

Pada tahun 1990-an, Daniel Goleman menemukan kecerdasan jenis baru iaitu kecerdasan emosi (Emotional Quatient) EQ. Ertinya, keberhasilan seseorang tidak ditentukan oleh tinggi rendahnya IQ, tetapi ditentukan oleh bagaimana seseorang tersebut mengurus hubungan antar perorangan secara lebih bermakna. EQ telah memberikan suatu rasa empatik, cinta, ketulusan, kejujuran, kehangatan, motivasi dan kemampuan merespon kegembiraan atau kesedihan secara tepat. EQ juga memberikan kesedaran mengenai perasaan milik diri sendiri dan perasaan miliki orang lain.

IQ tidak berubah dalam diri manusia dan ia dapat diukur, lain halnya dengan EQ, ia boleh mengalami perubahan, meningkat dan menurun, ia dapat dipelajari untuk terus ditingkatkan dan disempurnakan. Bahkan EQ menjadi asas penggunaan IQ secara lebih berkesan.

Semakin baik kecerdasan emosi seseorang, akan melahirkan rasa kepuasan materi, kehangatan hubungan antar manusia, dan dapat bertindak secara betul dalam menghadapi kesedihan dan kegembiraan.

Seiring pertambahan usia ke akhir kehidupan, kebahagiaan yang dicapai dengan EQ tadi tidak dapat dipertahankan, manusia moden menghadapi problema yang sangat basic, mengalami kehampaan makna hidup.
Ke manakah akhir kehidupan ini?
Untuk apa sebenarnya kita hidup?
Harta sudah ditangan, kehangatan hubungan antar sesama manusia telah dirasa, tetapi menghadapi akhir kehidupan, ia terasa hampa tanpa makna, tiada kebahagiaan.
Orang mencari kebahagiaan hakiki, mereka cuba mendapatkannya pada wang, kekayaan, kenikmatan seksual, kedudukan dan pangkat, kesihatan dan lain-lain. Namun kebahagiaan yang didapat bukan yang hakiki.

Akhirnya manusia cuba mencari jawapan untuk mendapat “bahagia”. Dan pada akhir abad 20-an ditemukanlah kecerdasan jenis ketiga Spiritual Quotient (SQ), iaitu kecerdasan ruhani. Ia merupakan kecerdasan untuk menghadapi dan memecahkan permasalahan makna dan nilai hidup, dan mendudukkan perilaku dalam konteks makna yang lebih luas. SQ merupakan prasyarat bagi berfungsinya IQ dan SQ secara berkesan. Spiritual, Ruhani merupakan faktor penting yang perlu ada untuk seseorang merasakan kebahagiaan.

ESQ 165 MODEL Ary Ginanjar Agustian

Selama ini berkembang dalam masyarakat sebuah pemikiran yang memisahkan antara dunia dan akhirat, antara unsur-unsur kebendaan dan unsur-unsur agama, antara unsur kasat mata dan tak kasat mata, antara materialisme dan orientasi nilai-nilai ketuhanan semata.
Mereka yang memilih kejayaan akhirat, cenderung berfikir bahawa kejayaan dunia adalah tidak penting. Hasilnya mereka unggul dalam kekhusyu’an berzikir dan kekhidmatan ibadah khusus, namun tewas dalam percaturan ekonomi, ilmu pengetahuan, sosial, politik, dan perdagangan.
Mereka yang hanya berpijak pada alam kebendaan pula, kekuatan berfikirnya tidak pernah diimbangi oleh kekuatan dzikir, kebendaan begitu membelenggu hatinya, tidak mudah baginya untuk berpijak pada alam fitrahnya.

Kemudian beliau menyatukan EQ dan SQ dengan nilai-nilai Islam, menjadi suatu penyatuan yang padu tanpa pemisahan, dengan membuat suatu model kecerdasan alternatif berupa ESQ model.

4 Tahap Membangun Kecerdasan Insan.

ESQ model menjelaskan tentang empat tahap proses membangun kecerdasan insan, berdasarkan Rukun Agama Islam (Ihsan, Iman dan Islam = 165) iaitu:

Pertama: Zero mind process (proses menuju fitrah manusia / God-spot)

Kedua : Mental Building (membangun mental melalui prinsip-prinsip hidup; 1- Star principle, 2- Angel principle, 3- Leadership principle, 4- Learning principle, 5- Vision principle dan 6- Well organized principle.)

Ketiga : Personal Strength (membangun ketangguhan peribadi melalui proses; 1- Mission statement, 2- Character Building dan 3- Self Controlling.)

Keempat : Social Strength (membangun kekuatan hubungan social melalui proses; 1- Strategic Collaboration, 2- Total Action

Pada tahap pertama, zero mind process, proses menuju pada fitrah manusia (God-Spot), kita diajak untuk merenungi dan memperhatikan suara hati atas beberapa peristiwa yang terjadi sehari-hari, baik pada diri kita mahupun pada orang lain atau lingkungan sekitarnya. Kemudian kita disuruh untuk merespon secara jujur berdasarkan kata hati. Maka kita akan mendapati dua pilihan, iaitu pilihan jalan menuju fitrah (taqwa) dan pilihan jalan menuju kejahatan (fujur), setiap orang memiliki kebebasan untuk memilihnya.

“maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya. sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu, dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya.” (S. Asy Syams/91:8-10)

Ketika itu manusia mula menghadapi ujian dalam dirinya sendiri, adakalanya hati manusia terbelenggu sehingga menutupi kebenaran informasi dari suara hati. Belenggu-belenggu yang dapat menutupi hati ialah; 1- Prasangka buruk, 2- Prinsip-prinsip hidup, 3- Pengalaman, 4- Kepentingan dan keutamaan, 5- Sudut pandang, 6- Pembanding, 7- Literatur.

Untuk menuju kepada fitrah (God-Spot) mestilah membebaskan diri dari ketujuh belenggu tersebut, sehingga akhirnya kita dapat menyesuaikan kehendak kita dengan kehendak Allah SWT.

Pada tahap kedua, setelah memiliki kejernihan hati, mulakan mengisi dan membangun karakter diri melalui enam prinsip- prinsip yang tersebut di atas (1- Bintang, agar menjadikan Allah sebagai tujuan hidup, 2- Malaikat, agar memiliki keberanian dan sikap optimis, 3- Kepimpinan, agar menjadi seorang pemimpin contoh dan berpengaruh, 4- Belajar, agar mendorong kepada kemajuan, 5- Masa hadapan, agar memiliki visi yang jelas, 6- Keteraturan, agar terwujud kedisiplinan dan keseimbangan hidup dalam satu kesatuan tauhid.

Pada tahap ketiga, setelah memiliki prinsip hidup yang kukuh dan jelas, terbentuklah keperibadian tangguh (integriti dan competensi), iaitu peribadi yang memiliki prinsip berfikir dan mengaplikasikannya melalui tiga langkah kejayaan iaitu; pernyataan misi (Syahadatain), pembangunan karacter (shalat) dan pengendalian diri (Shaum).

Tahap keempat, ketangguhan sosial, ia dianalogikan dengan prinsip zakat, iaitu rasa peduli terhadap lingkungan masyarakat, ia suatu bentuk pertahanan aktif dari dalam keluar. Apa yang perlu, lakukan kolaborasi strategis, agar manfaat diri dirasakan orang lain dan tindakan yang total (hajj)

Sumber,
Ary Ginanjar Agustian, Rahasia Sukses Membangun Kecerdasan Emosi dan Spiritual ESQ Emotional Spiritual Quotient Berdasarkan 6 Rukun Iman dan 5 Rukun Islam, Sept 2006, c. 29, Jkt. Penerbit Arga.

Semoga bermanfaat!
Ilal liqa'

Thursday, April 9, 2009

MENCARI PEMIMPIN CONTOH

Sebelum kembali ke negeri abadi, akhirat, Rasulullah saw sebagai pemimpin, ingin membersihkan diri dari sebarang tindakan zalim yang mungkin pernah dilakukannya terhadap rakyatnya, di hadapan mereka baginda bersabda:

“Sesungguhnya aku ini Nabimu, pemberi nasihat, dan da’ie yang menyeru kepada jalan Rabbmu dengan izin-Nya. Aku ini bagaikan saudara kalian yang penyayang dan seorang bapa yang pengasih. Siapa yang terasa teraniaya olehku, hendaklah bangkit berdiri sekarang juga untuk melakukan qishash kepadaku, sebelum ia melakukannya di hari kiamat,” Baginda mengulangi ucapannya sampai tiga kali.

Kemudian tampillah Ukasyah. Ibu dan Ayahku menjadi tebusanmu ya Rasulullah. Kalau tidak kerana engkau telah berkali-kali menuntut kami supaya berbuat sesuatu atas dirimu, tidaklah berani aku tampil.

Begini, dahulu aku pernah bersamamu di medan perang Badar. Di saat itu untaku berdampingan dengan untamu, lalu aku turun dari untaku dan menghampirimu. Bersamaan dengan itu engkau mencambuk untamu agar berjalan lebih cepat. Cambukmu itu telah mengenai lambungku. Saya tidak tahu apakah perbuatanmu itu sengaja atau tidak.”
Rasulullah menjawab: “Maha Suci Allah, wahai Ukasyah mana mungkin Rasul Allah bermaksud memukulmu dengan sengaja.” Kemudian Baginda menyuruh Bilal untuk mengambil cambuk yang sama di rumah Fatimah. Cambuk itu pun terus diserahkan kepada Ukasyah.

Betapa marahnya Abu Bakar dan Umar ra melihat perilaku Ukasyah.
“Hai Ukasyah! Kami sekarang berada di hadapanmu, qishash saja kami berdua, jangan sekali-kali engkau pukul Rasulullah saw”

“Duduklah kalian berdua! Allah mengetahui kedudukan kalian”. Tegur Rasulullah. Kata-kata yang sama beliau ucapkan ketika Ali bin Abi Thalib dan kedua cucunya Hasan dan Husein menawarkan diri untuk menggantikan diri baginda.

“Hai Ukasyah pukullah aku jika engkau berhasrat melakukan qishash” kata Baginda tegas.

“Ya Rasulullah, sewaktu engkau memukulku dahulu, kebetulan aku sedang tidak mengenakan selembar baju pun.”

Mendengar itu, tanpa ragu sedikit pun Baginda terus membuka bajunya. Ketika melihat putih tubuh Rasulullah, Ukasyah segera mendekat, memeluk dan mencium punggung Rasulullah. “Tebusanmu ruhku ya Rasulullah. Siapakah yang sampai hati untuk mengqishashmu? Aku sengaja melakukan ini hanya kerana berharap agar tubuhku dapat menyentuh tubuhmu yang mulia sehingga Allah dengan kehormatanmu itu dapat memelihara tubuhku dari sentuhan api neraka.”

Rasulullah saw pun bersabda: “Wahai para sahabatku, siapa yang ingin melihat penduduk surga, maka lihatlah laki-laki ini.”

Mudah-mudahan masih ada pemimpin yang mengidolakan Baginda saw, Ia berkuasa, tetapi penyayang,seperti seorang yang menyayangi saudaranya, ia dihormati, tetapi pengasih, seperti seorang bapa terhadap anaknya, ia prihatin terhadap mereka yang ia pimpin, lalu ia pun selalu menyeru mereka ke jalan Allah, menuju surga-Nya, ia takut kepada Allah kalau sampai berlaku dirinya menzalimi rakyat, mereka pun akhirnya mentaatinya bukan kerana takut kepadanya, kepada hukumannya, tetapi kerana menyayanginya.

Ya Allah beri kami pemimpin yang takut kepada-Mu dan mengasihi kami rakyatnya! Aamiin

NASIHAT KEPADA PENGUASA

Seorang dari kalangan Tabi’in Salamah bin Dinar berkata:
“Sebaik-baik penguasa ialah yang mencintai ulama’, dan seburuk-buruk ulama ialah yang mencintai penguasa.”

Ia pernah menasihati orang yang dalam tampuk kekuasaan pada zamannya, iaitu Sulaiman bin Abdul Malik, pesannya:
“Wahai Amirul Mu’minin, kita takut kepada kematian, kerana kita memakmurkan dunia dan tidak memakmurkan akhirat, kerana itu kita pun enggan meninggalkan tempat yang makmur menuju tempat yang tidak makmur itu. Sesungguhnya orang-orang yang shaleh ketika menghadap kepada Allah, adalah bagaikan orang yang kembali kepada keluarganya dengan penuh kerinduan kerana telah berpergian jauh. Adapun orang-orang yang tidak baik, ketika kembali menghadap Allah, adalah bagaikan seorang hamba yang melarikan diri dari tuannya, lalu ia ditangkap dan dipaksa pulang.”

“Wahai Amirul mu’minin! Orang yang paling mulia adalah yang paling bertakwa kepada Allah. Orang yang berakal adalah orang taat kepada Allah, beramal dan mengajak orang kepada ketaatan itu. Sedang orang yang paling bodoh adalah orang yang zalim lagi hanyut dalam hawa nafsumya. Ia rela menjual akhiratnya dengan hawa nafsunya.”

Ia pernah berpesan kepada muridnya: “Kita ini tidak mahu mati sebelum bertaubat, walhal kita tidak mau bertaubat kecuali setelah kematian itu datang…..

Menjelang ajalnya, ia ditanya: “Bagaimana kabarmu wahai Ibnu Hazm (panggilan Salamah bin Dinar). Dengan tenang ia menjawab: “Aku dalam keadaan baik. Penuh pengharapan kepada Allah, berbaik sangka kepada-Nya. Demi Allah, tidaklah sama orang-orang yang pergi pagi hari dan balik petang demi menyiapkan kampung akhiratnya, dengan orang yang pergi pagi hari dan balik petang hanya demi memakmurkan dunianya.”

Sesungguhnya peringatan itu bermanfaat bagi orang-orang beriman.

Semoga bermanfaat!
Ilal liqa’

TAMAK AKAN PAHALA

Beberapa orang sahabat Muhajirin yang hidupnya kais pagi makan pagi, kais petang makan petang, atau hidup setakat cukup-cukup, datang berjumpa Rasulullah saw., dan berkata:

“Wahai Rasulullah, orang-orang kaya dari kami bergelimang harta juga pahala. Mereka shalat seperti kami shalat, berpuasa sebagaimana kami berpuasa, tetapi mereka dapat bersedekah dengan kelebihan harta mereka, sedang kami tidak.”

Rasulullah saw bersabda: “Mahukah kalian aku beritahu sesuatu yang dapat menyamai (sedekah) mereka? Bacalah tasbih (Subhanallah), tahmid (alhamdulillah) dan takbir (Allahu akbar) tiga puluh kali setiap selepas shalat.”

Beberapa hari kemudian, mereka kembali menemui Rasulullah saw dan berkata: “Wahai Rasulullah! Orang-orang kaya itu mengetahui apa yang kami lakukan, mereka pun lalu mengikuti apa yang kami lakukan.

Rasulullah saw berkata: “Itu adalah karunia Allah yang diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya.”

Para sahabat Muhajirin radhiyallahu anhum mengadu tentang kemiskinan bukan kerana keduniaan yang tidak mereka miliki, mereka sedih kerana tidak dapat bersedekah sebagaimana orang-orang kaya di antara mereka dapat bersedekah.
Orang-orang kaya pula tidak merasa cukup dengan pahala bersedekah, mereka menambahkan lagi kebaikan dengan mengikuti amalan yang diajarkan oleh Rasulullah saw kepada orang-orang miskin. Mereka saling berlumba untuk mendapatkan akhirat, dunia dipandang hanya sebagai alat untuk mendapatkan balasan di sisi Allah. Kelebihan dunia tidak menjadikan para pemiliknya bersikap sombong. Kekurangan dunia pula tidak menjadikan orang-orang yang tak punya menjadi congek. Mereka menyedari akan takdir Allah yang dengan kuasa dan iradat-Nya memberi karunia termasuk kekayaan kepada siapa yang Ia kehendaki. Miskin atau kaya, itu ketentuan Allah, Miskin tetapi sabar dan terus istiqamah, seperti juga kaya tetapi bersyukur dan juga istiqamah, itulah sikap yang Allah mahu kita para hamba memilikinya.

Kaya atau miskin, keduanya merupakan alat untuk Allah menguji hamba-Nya. Jika anda diberi kekayaan, syukuri dan istiqamahlah! Jika anda diuji dengan kemiskinan, bersabar dan istiqamahlah! Itulah kerja hamba.

Jangan kamu mengatur Allah apa yang patut Dia buat untuk kita, tetapi fikirkanlah apa yang patut kita lakukan terhadap Allah!

Semoga Allah memberi kita kekuatan untuk terus istiqamah!

Ilal liqa’

Tuesday, April 7, 2009

ITU DAHULU

Dahulu, pada zaman sahabat radhiyallahu ‘anhum, mereka saling menolak untuk menjadi pemimpin.

Diriwayatkan, Abu Bakar ash Shiddiq ra., sebelum diminta menjadi Khalifah menggantikan Rasulullah saw, mencadangkan agar Umar yang menjadi Khalifah. Dengan alasan Umar adalah seorang yang kuat.
Umar pula menolak, dengan katanya: “Kekuatanku akan berfungsi dengan kelebihan yang ada padamu. Lalu Umar membai’ah Abu Bakar dan diikuti oleh sahabat-sahabat lain dari Muhajirin dan Anshar.

Mereka adalah orang-orang ternama dari generasi awal Islam, generasi terbaik, khairu ummah. Mereka memandang jawatan sesuatu yang menakutkan, lalu berusaha menghindarinya seboleh yang mungkin.

Itu zaman dahulu!

Keberatan para Sahabat dahulu untuk menjadi pemimpin, kerana mereka sedar akan akibat dan resikonya. Banyak hadits-hadits Nabi Saw tentang tanggung jawab pemimpin di dunia dan di akhirat.

"Setiap kamu adalah pemimpin dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggung jawapannya. Imam (kepala negara) adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggung jawabannya atas kepemimpinannya...".

“Kalian akan berebut untuk mendapatkan kekuasaan. Padahal kekuasaan itu adalah penyesalan di hari Kiamat, nikmat di awal dan pahit di akhir. (Riwayat Imam Bukhori).

“Siapa yang diberikan Allah kekuasaan mengurus urusan kaum Muslimin, kemudian ia tidak melayani mereka dan keperluan mereka, maka Allah tidak akan memenuhi keperluannya.” (Riwayat Abu Daud).

“Tidak ada seorang pemimpin yang menutup pintunya dari orang-orang yang memerlukannya dan orang fakir miskin, melainkan Allah juga akan menutup pintu langit dari keperluannya dan kemiskinannya.”

Hadits-hadits di atas lebih banyak menggambarkan pahitnya menjadi pemimpin daripada manisnya. Sedang para sahabat ra. lebih mengutamakan kesenangan ukhrawi daripada kenikmatan duniawi.

Itu zaman dahulu.

Kesenangan duniawi yang akan didapat melalui jawatan dan kekuasaan terlalu sedikit dan tak bererti apa-apa jika di akhirat mesti dibayar dengan kesusahan yang berkepanjangan.

Sikap yang dimiliki oleh para sahabat ini akhirnya menjadikan mereka para pemimpin yang takutkan Allah dan menyayangi mereka yang dibawah kepimpinannya. Kekuasaan yang mereka pegang mereka jadikan kenderaan untuk dapat selamat dari neraka dan masuk ke dalam surga. Mereka lebih memilih menjadi orang kecil dalam jawatan tetapi orang besar dalam perjuangan, sehingga bayarannya besar di sisi Allah, di dunia hasanah di akhirat hasanah.

Itu zaman dahulu, bagaimana zaman sekarang?

Jika sekarang ada sesiapa ingin seperti mereka, mulalah ikuti rentak hidup mereka, sebelum mereka jadi penguasa, sedang memegang kuasa dan se
telah tidak berkuasa.

Selamat bekerja keras! Semoga berjaya dunia akhirat. Aamiin

Ilal liqa’

Monday, April 6, 2009

SUDAHKAH KITA MERDEKA?

Amr bin Ash merupakan penguasa Mesir. Suatu ketika anaknya ikut acara lumba berlari, ia berlawan dengan seorang pemuda biasa. Hasilnya, anak Amr kalah dalam pertandingan. Sebagai anak penguasa, ia merasa malu, dan tak dapat menahan emosinya, lalu memukul pemuda itu.

Kejadian itu dilaporkan kepada Khalifah Umar bin Khattab ra.. Setelah memahami permasalahannya, Anak Amr pun dihukum qishash. Umar berkata kepadanya: “Sejak bila engkau memperhamba manusia, padahal ibu-ibu mereka telah melahirkan mereka dalam keadaan merdeka?”.

Kisah di atas memberi kita pelajaran berharga. Iaitu, Islam telah membebaskan manusia dari perhambaan. Seorang mukmin, dalam penghambaannya kepada Allah akan mendapatkan kemerdekaan sebenar.

Memiliki kebebasan menghubungi Allah.
Dalam berhubungan dengan Allah Pencipta Alam, Yang Maha Berkuasa, Maha Kaya, Maha Agung, Dia Tuhan yang menghidupkan, yang mematikan, yang membangkitkan, yang akan menghisab, yang akan membalas amal-amal, yang menyediakan surga bagi yang beriman dan neraka bagi yang kufur, seorang mu’min jika ingin berhubung dengan-Nya, bebas tanpa perlu perantara, tidak perlu perantara tokoh agama, patung, malaikat. Ia bebas berhubungan untuk bertaubat kepada-Nya, memohon ampunan, meminta pertolongan bila-bila masa.

“Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu, maka (jawablah), bahawa aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa kepada-Ku. Maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah)Ku dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran.”(S. al Baqarah:186)

Hidup dengan jiwa yang merdeka.
Dengan aqidah “La ilaaha illallah” yang diikrarkan setiap hari, seorang mu’min meyakini bahawa Allah SWT. Adalah Maha Perkasa dari segala kekuatan apa sahaja di muka bumi ini. Oleh itu, Dialah yang wajib ditaati dan ditakuti. Kepada-Nyalah kita mesti kembali. Tak ada apa yang perlu ditakuti dari apa-apa kekuatan selain daripada-Nya di muka bumi ini.

Para tukang sihir Fir’aun yang kemudian beriman kepada Tuhan Nabi Musa as. Telah merasakan betapa merdekanya mereka, sebelumnya terbelenggu dalam kungkungan Fir’aun.

“Berkata Fir’aun: “Apakah kamu telah beriman kepadanya (Musa) sebelum aku memberi izin kepadamu sekalian. Maka sesungguhnya aku akan memotong tangan dan kaki kamu sekalian dengan bersilang secara bertimbal balik, dan sesungguhnya aku akan menyalib kamu sekalian pada pangkal kurma dan sesungguhnya kamu akan mengetahui siapa di antara kita yang lebih pedih dan lebih siksanya.” Mereka berkata: “Kami sekali-kali tidak akan mengutamakan kamu daripada bukti-bukti yang nyata (mukjizat), yang telah datang kepada kami dan yang telah menciptakan kami. Maka putuskanlah apa yang hendak kamu putuskan. Sesungguhnya kamu hanya akan dapat memutuskan pada kehidupan di dunia ini sahaja.” (S. Thaha:71-72)

Jiwa yang merdeka membuat manusia sedar akan harga dirinya, dirinya yang mulia, dan demi menjaga kemuliaannya itu ia sanggup untuk mengharungi tentangan hidup.

Ingin dapat kedudukan di sisi Allah, peluang terbuka luas.
Setiap kali mu’min meningkatkan ibadahnya, setiap itu pula ia mendekati tangga-tangga tertinggi dalam kedudukannya di sisi Allah, iaitu peringkat ihsan. Ia bebas untuk mencapainya dengan melakukan berbagai bentuk ibadah yang luas yang tak terbatas pada ibadah-ibadah khusus seperti shalat, puasa, zakat haji dan ritual-ritual lainnya, tetapi juga ibadah umum yang meliputi seluruh aspek kehidupan. Dengan menggeluti peringka-peringkat ibadah itu, seorang mu’min akan menyatu dengan arah hidupnya dan ia benar-benar berada dalam kemerdekaan.

“Orang yang hidup bebas tanpa peraturan adalah hamba kepada hawa nafsu dan terbelenggu olehnya. Orang yang menghamba kepada Allah dan tunduk kepada-Nya, itulah orang merdeka.”

Sudahkah kita merdeka?
Jom sama-sama kita berusaha!

Ilal liqa’

Wednesday, April 1, 2009

MENGENALI DUNIA

“Ketahuilah! Bahawa sesungguhnya kehidupan dunia itu hanyalah permainan dan suatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah-megahan antara kamu serta berbangga-banggaan tentang banyaknya harta dan anak, seperti hujan yang tanaman-tanamannya mengagumkan para petani; kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning kemudian menjadi hancur. Dan di akhirat ada azab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridaan-Nya. Dan kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu. Berlumba-lumbalah kamu kepada (mendapatkan) ampunan dari Tuhanmu dan surga yang luasnya seluas langit dan bumi, dan disediakan bagi orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan Allah mempunyai karunia yang besar.” (S. al Hadid:20-21)

Banyak orang menghabiskan hidup hanya untuk dunia, dan menjadikannya tujuan hidup disebabkan kejahilan mereka tentang hakikat dunia, selain memang dunia itu sangat menarik.

Dunia (dunyaa), bererti “yang dekat” dan “yang rendah”.

Sesuatu “yang dekat”, untuk memperolehinya tidaklah memerlukan banyak jerih payah, tak perlu mengerahkan tenaga, kecuali bagi yang lemah, atau yang lumpuh.

Sedang “yang rendah”, tak patut dijadikan tujuan hidup, kerana manusia yang dewasa selalunya merindukan kemuliaan, inginkan ketinggian dan tak suka kerendahan dan kehinaan.

Jadi, orang dewasa, yang matang dan sihat akal fikiran, kuat jiwa dan mentalnya, tentu tidak akan menghabiskan masanya untuk bersusah payah mengejar dunia dan menjadikannya tujuan hidup.

Siapakah yang dikatakan sebagai orang dewasa, yang sihat akal fikiran dan jiwanya? Mereka adalah yang sentiasa mendapat bimbingan wahyu Allah, Merekalah orang–orang beriman.

“Janganlah kalian merasa lemah, dan jangan pula bersedih hati, sebab kamu paling tinggi darjatnya jika kamu orang beriman” (S. Ali ‘Imran: 139)

Seorang mukmin, tentu tidak akan menghabiskan masanya hanya untuk mengurus dunia, lalu menjadikannya sebagai tujuan hidup, kerana,

“Kehidupan dunia itu hanyalah permainan dan suatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah-megahan antara kamu serta berbangga-banggaan tentang banyaknya harta dan anak,…..”

Yang menyukai permainan, dan menghabiskan masanya untuk bermain-main tidak lain adalah kanak-kanak. Yang menyukai senda gurau pula adalah orang yang lemah akal dan fikirannya, ia akan menangis sedih ketika barang mainannya hilang atau diambil orang, kerana begitulah jangkauan fikirannya, ilmunya menganggap bahawa permainannya, itulah benda yang paling berharga.

Sedang si Muslim, terutama aktivis dakwah (da’i), memandang; bahawa kemuliaan itu bergantung kepada keislaman dan keimanannya, kedekatannya dan ketakwaannya kepada Allah, bukan kepada dunia, banyaknya harta yang dimiliki.

Da’i, orang yang telah memilih jalan hidup untuk menegakkan kalimah Allah, harapannya hanya satu, mendapat ridha Allah, ia bekerja keras di sini, di dunia, untuk memetik hasilnya disana, di akhirat, di negeri abadi. Ia bekerja untuk menyebarkan nilai-nilai Ilahi yang dengan kerjanya itu, ia berharap dapat surga Allah. Ia mengajak manusia untuk cintakan Islam, untuk sanggup berkorban demi Islam, Ia juga mengajak kepada cintakan Allah dan ajaran-Nya, jadi sebagai da’i, ia mestilah lebih cintakan Allah, cintakan Allah tidak mungkin bersatu dengan cintakan dunia, kerana orang yang cintakan Allah akan rela membelanjakan seluruh dunianya demi tegaknya kalimah Allah. Sedang orang yang cintakan dunia, akan rela menjual agamanya untuk mendapat keuntungan dunia. Ia akan jadikan segala aktiviti keagamaannya untuk mendapat keuntungan duniawi.

Allah telah memberi amaran kepada orang-orang yang lebih cintakan dunianya daripada akhirat.

“Adapun orang yang melampaui batas, dan lebih mengutamakan kehidupan dunia, maka sesungguhnya nerakalah tempat tinggalnya.” (S. an Nazi’aat:37-39)

Rasulullah saw memberi nasihat:

“Zuhudlah kamu terhadap dunia niscaya Allah akan mencintaimu, dan zuhudlah kamu terhadap apa yang dimiliki orang niscaya mereka akan mencintaimu”.

“Hindarilah olehmu sifat bermewah-mewahan, kerana hamba Allah bukanlah orang-orang yang bermewah-mewahan”.

Perumpamaan dunia adalah “Seperti hujan yang tanaman-tanamannya mengagumkan para petani kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning kemudian menjadi hancur”.

Pecinta dunia digambarkan umpama petani, ketika melihat tanam-tanaman yang tumbuh menghijau, hatinya gembira. Tetapi tanaman itu dalam waktu singkat berubah menjadi kering dan rontok satu persatu lalu hancur. Petani pun kecewa, harapannya terhadap tanamannya hampa. Alangkah malangnya nasib petani itu. Jadi orang-orang yang menggantungkan harapannya kepada dunia akan hampa dan malang nasibnya, bukan sahaja di dunia ini, tetapi juga di akhirat nanti.

Untuk terhindar dari menjadi malang, Allah mengajak kita kepada;

“Berlumba-lumbalah kamu kepada (mendapatkan) ampunan dari Tuhanmu dan surga yang luasnya seluas langit dan bumi”.

Itulah surga, kebahagiaan abadi, kebahagiaan hakiki, yang mesti dikejar, yang layak untuk diperebutkan, untuk diperlumbakan.

Jom kita berlumba-lumba!

Semoga bermanfaat!

Ilal liqa’
 
Copyright HIKMAH-BINTULU © 2008 Free Blogger Template By Cool Stuff Blog